Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald
Dr. Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald (lahir di Berlin, 13 November 1902 – meninggal di Bad Homburg vor der Höhe, 10 Juli 1982 pada umur 79 tahun)
adalah paleontolog dan geolog berkebangsaan Jerman-Belanda yang melakukan penelitian terhadap hominin. G.H.R. von Koenigswald memberikan banyak kontribusi terhadap paleontologi selama kariernya. Penemuannya dan penelitiannya mengenai fosil manusia purba di Jawa dan penelitiannya mengenai fosil penting lainnya di Asia Tenggara memberinya reputasi sebagai salah satu figur paleoantropologi terpenting abad ke-20.
Riwayat hidup & awal karir
Von Koenigswald lahir di Berlin pada 13 November 1902. Ia belajar geologi dan paleontologi di universitas di Berlin, Tübingen, Cologne, dan Munich. Dia menyelesaikan studi doktornya di Munich pada tahun 1928 di bawah arahan Erich Kaiser.
Ralph von Koenigswald adalah anak dari pakar etnologi Jerman, Gustav A. von Koenigswald. Ia belajar geologi dan paleontologi di Universitas Humboldt Berlin, Universitas Tuebingen, Universitas Muenchen, dan Universitas Koeln. Guru utamanya adalah antropolog asal Swis, Rudolf Martin. Von Koenigswald menyelesaikan disertasi doktoralnya pada tahun 1928, pada usia 26 tahun di Muenchen. Selanjutnya ia bekerja sebagai asisten di suatu lembaga geologi di Muenchen.
Sebagai asisten di Lembaga Koleksi Bavaria di Munich ia memperoleh tawaran untuk bekerja sebagai ahli paleontologi mamalia dalam sebuah proyek Survei Geologi Belanda di Jawa. Von Koenigswald menerima tawaran tersebut dan pergi ke Bandung pada tahun 1930, empat puluh tahun sejak ahli anatomi Belanda Eugene Dubois membuat penemuan penting tentang Pithecanthropus erectus di pulau Jawa.
Pada tahun 1931 ia berangkat ke Bandung sebagai ahli paleontologi untuk Dienst van Mijnbouw van Nederlands Indië (Dinas Pertambangan Hindia Belanda). Pada masa tugas inilah kariernya mencapai puncak karena temuan-temuan penting yang diperolehnya di kawasan tepi Bengawan Solo, khususnya di daerah Sragen dan Ngawi.
Tugas utama Von Koenigswald dalam survey tersebut adalah bekerjasama dengan para ahli geologi untuk melakukan pemetaan Lithostratigrafi, sebuah pengamatan lapangan yang meliputi penampakan fisik batuan, komposisi, struktur geologi, mineral, dan jenis batuan.
Pada penggalian survei geologi di Ngandong, Blora, Jawa Timur, sebelas tengkorak hominid (“kera” besar) ditemukan dalam sebuah lapisan sungai Pleistosen. Tapi sebenarnya von Koenigswald tidak terlibat langsung dalam penemuan tersebut. Penggalian saat itu dipimpin oleh Carel ter Haar. Sedangkan tengkorak hominid itu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk dipelajari lebih lanjut dan diperbandingkan dengan penemuan sebelumnya.
Saat itu Von Koenigswald belum memperhatikan penemuan tersebut. Ia masih fokus pada pekerjaanya. Namun karena kekurangan biaya survei geologi tersebut dihentikan pada tahun 1934.
Meski demikian Von Koenigswald memutuskan untuk tidak kembali ke Eropa. Ia memutuskan untuk tinggal di Jawa dan melanjutkan pekerjaannya. Dengan mendapatkan izin untuk menggunakan peralatan dan perpustakaan di Bandung sekaligus dukungan dana dari yayasan Belanda, ia mampu melanjutkan penelitianya. Ia pergi ke lapangan dan menemukan alat-alat batu manusia purba yang menarik perhatian seorang pastur Jesuit asal Perancis sekaligus ahli paleontologi, Pierre Teilhard de Chardin. Teilhard de Chardin adalah ahli paleontologi yang terlibat dalam penelitian hominid di Zhoukoudian di Cina. Teilhard de Chardin menemui von Koenigswald awal tahun 1936. Ia mendukung von Koenigswald untuk melanjutkan penelitian kepurbakalaan di Jawa.
Kunjungan tersebut menjadi titik balik bagi karir von Koenigswald di kemudian hari. Tapi Teilhard de Chardin juga menyadari bahwa penelitian von Koenigswald terbentur pada keterbatasan dana. Dia akhirnya melobi Carnegie Foundation, dan melalui mediasinya von Koenigswald berhasil mendapatkan dana.
Segera setelah Teilhard de Chardin meninggalkan Jawa, fosil hominid ditemukan lagi di Jawa Timur, di sebelah utara Mojokerto, pada tahun 1936. Kali ini von Koenigswald tidak membiarkan kesempatan berlalu. Ia mendapat dukungan Franz Weidenreich, ahli anatomi Jerman yang bertanggung jawab atas penggalian Zhoukoudian di Beijing. Koenigswald kemudian menerbitkan sebuah deskripsi tentang hominid Mojokerto. Tengkorak yang ia temukan merupakan tengkorak hominid remaja.
Von Koenigswald cepat menyadari pentingnya penemuan ini. Dia kemudian melakukan presentasi di Amerika Serikat dan Eropa pada musim gugur 1936. Ia baru kembali lagi ke Jawa pada musim semi 1937. Dari presentasinya, ia memperoleh dana yang cukup untuk melakukan eksplorasi dan koleksi di situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Meskipun tugas utama von Koenigswald dalam survei sebelumnya tidak melibatkan paleontologi manusia, ia tahu ketenaran Dubois. Sebagaimana diketahui, Dubois ahli paleontologi yang menemukan tenngkorak manusia purba dalam dekade terakhir abad kesembilan belas. von Koenigswald berharap ia menemukan lebih banyak manusia purba ketimbang Dubois.
Kesempatan itu akhirnya datang ketika ia menemukan tengkorak anak manusia purba di Jawa Timur pada bulan Februari 1936. Von Koenigswald kemudian mengirim gambar penemuan tersebut ke Dubois untuk diminta pendapatnya tentang fosil tersebut. Penemuan baru ini diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Academy of Sciences di Amsterdam.
Namun von Koenigswald mengalami kesulitan ketika hendak menafsirkan temuannya. Ia tidak cukup ilmu dalam memahami anatomi manusia. Dari sudut pandang geologi, tempurung kepala tampaknya cukup tua usianya. Satu-satunya bentuk fosil manusia fosil yang sejaman dengan Pleistosen di Jawa adalah Pithecanthropus. Namun saat itu belum diketahui tentang anatomi anak Pithecanthropus. Karena usia temuan tengkorak itu sejaman dengan pleistosen von Koenigswald yakin bahwa tengkorak tersebut adalah contoh anak Pithecanthropus. Karena ia tidak dapat menemukan bukti yang meyakinkan, ia mengusulkan nama Homo Mojokertensis untuk temuannya.
Sementara Dubois tetap meyakini bahwa Pithecanthropus mewakili bentuk peralihan dari primata ke manusia dengan demikian tidak bisa dianggap sebagai anggota dari genus Homo. Dalam jawabannya, Dubois menunjukkan fakta bahwa tengkorak temuan von Koenigswald lebh mirip tengkorak Pithecanthropus dari Trinil. Dari sudut pandang anatomi, Dubois berkeyakinan bahwa lebih masuk akal untuk menganggap temuan von Koenigswald itu termasuk kelompok Ngandong dan bukan Pithecanthropus.
Sekembalinya ke Jawa, von Koenigswald mempelajari bahwa fosil hominid baru telah ditemukan di situs sebelah barat Trinil yakni Sangiran. Ia menemukan tulang rahang (ramus mandibula) sebelah kanan yang telah terfragmentasi. Kali ini, von Koenigswald segera melaporkan penemuan itu ke Dubois dan berjanji untuk mengirim gambar. Namun janji itu terlupakan karena ia menemukan tengkorak lainnya yang lebih menarik di Sangiran. Deskripsi tentang tulang rahang bawah (mandibula) diterbitkan pada bulan November 1937. Penemuan von Koenigswald ini menjadikan diskusi yang lebih luas tentang manusia Pithecanthropus.
Gambar-gambar hasil temuan von Koenigswald sampai juga ke tangan Dubois. Ia mulai membandingkan temuan mandibula von Koenigswald dengan temuannya sendiri yang berasal dari Kedung Brubus, Madiun, Jawa Timur. Dubois menekankan sejumlah perbedaan anatomi antara fragmen Kedung Brubus dan mandibula dari Sangiran. Dia melihat da perbedaan ukuran yang mencolok antara kedua spesimen.
Sayangnya, publikasi von Koenigswald mengalami kesalahan cetak kecil tapi sangat menentukan berkaitan total panjang fragmen. Dalam publikasi yang kadung dicetak panjang spesimen itu 1 cm lebih pendek dari panjang sebenarnya. Dengan data tersebut Dubois meyakini bahwa data tersebut benar sehingga ia meyakini temuan Koenigswald itu sejalan dengan temuannya. Akibatnya, fragmen Kedung Brubus disamakan dengan mandibula Sangiran. Dubois lagi-lagi menyimpulkan bahwa mandibula baru tersebut keliru jika dikaitkan dengan Pithecanthropus. Dan satu-satunya fosil manusia Jawa adalah dari kelompok Ngandong sebagaimana ditemukan Dubois. Von Koenigswald mengoreksi kesalahan publikasi itu pada tahun 1940 dalam publikasi yang komprehensif pada semua spesimen hominid awal dari Sangiran.
Dari musim semi 1938 dan seterusnya Von Koenigswald tidak lagi berkorespondensi dengan Dubois. Von Koenigswald tidak mempublikasikan perbandingan materinya dengan penemuan dari Ngandong yang ditemukan Dubois. Tanpa seijin Koenigswald, Dubois mengutip publikasinya.
Sementara itu, pengumuman awal von Koenigswald tentang tengkorak Sangiran muncul pada bulan Desember 1937. Beberapa gambar dicetak bersama dengan pengumuman tersebut, khususnya tiga puluh fragmen tengkorak. Sekali lagi Dubois menerapkan metode pengukuran yang di matanya sudah terbukti berguna ketika menguji mandibula Sangiran. Ia mengukur fragmen pada foto dan membandingkan panjangnya dengan jarak yang sesuai pada gambar tengkorak yang telah direkonstruksi. Atas dasar ini ia menyimpulkan bahwa rekonstruksi tidak dilakukan dengan benar. Bahkan Dubois menuding Von Koenigswald telah memalsukan rekonstruksi fosil tersebut.
Mengetahui hal itu von Koenigswald marah, terlebih karena Dubois menggunakan penelitiannya tanpa izin. Dua tahun kemudian hubungan mereka memburuk dalam ketidakpercayaan dan saling tuding. Di sisi lain, von Koenigswald khawatir bahwa konflik ini bisa merusak reputasi ilmiahnya karena Dubois sangat berpengaruh di Belanda. Namun, ketakutan ini tidak beralasan. Von Koenigswald sangat terluka oleh pelanggaran Dubois dam tundingannya bahw aia telah memalsukan rekonstruksi fosil. Puluhan tahun setelah kematian Dubois pada tahun 1940 von Koenigswald masih marah. Namun, karena kurangnya penjelasan publikasinya serta argumennya yang kurang kuat, von Koenigswald dianggap tidak ahli dalam paleontologi dan anatomi.
Ketika pendudukan Jepang, von Koenigswald ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp internir. Seusai Perang Dunia II, ia sempat bekerja di American Museum of Natural History, New York.
Sejak 1948 ia kembali ke Eropa dan menjadi profesor di Universität Utrecht sampai 1968. Selanjutnya ia pindah ke Frankfurt am Main dan mendirikan seksi Paleoantropologi di Lembaga Penelitian Senckenberg. Di sana ia bekerja sampai meninggal pada tahun 1982.
Von Koenigswald sejak 1935 menikah dengan Luitgarde Beyer. Mereka memiliki seorang anak.
No comments :
Post a Comment